AQEEDAH

MySpace Layouts

Myspace Text Generator, Myspace GraphicsMyspace LayoutsMyspace LayoutsMyspace CodesMyspace LayoutsMyspace CodesGlitter GraphicsMyspace Text Generator, Myspace GraphicsMyspace CodesMyspace Codes, Myspace GraphicsMyspace CodesMyspace Codes, Myspace GraphicsMyspace LayoutsMyspace CodesMyspace CodesMyspace Text Generator, Myspace GraphicsMyspace CodesMyspace Text Generator, Myspace GraphicsMyspace LayoutsMyspace LayoutsMyspace, Myspace CodesMyspace Text Generator, Myspace GraphicsMyspace CodesMyspace CodesMyspace LayoutsGlitter GraphicsMyspace Codes, Myspace GraphicsMyspace CodesMyspace Text Generator, Myspace GraphicsMyspace LayoutsMyspace Codes, Myspace Graphics

Syukron atas kunjungannya, semoga bermanfaat. InsyaALLAh akan selalu di uptodate.
Fikroh dalam sebuah perjalanan menuju hakekat kebenaran.
Belajar dari hikmah suatu episode kehidupan
MySpace Layouts

Foto- Foto

Be Cover
My creation
My creation
Komunitas
Blogger Indonesia BlogFam Community Indonesian Muslim Blogger
Kalender
Saran n kritik
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Pengunjung Yang Online Free Web Counter
Kali Di Kunjungi
Hakekat Tasawuf bag.3
Sunday, February 11, 2007

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim

Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf(*)

(*) Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya “Haqiqat Ash Shufiyyah” (hal. 18-21), dengan sedikit perubahan.

Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:

Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk/Manunggaling Gusti ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.


Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘azza wa jalla- pada tahun 309 H. Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):

Maha suci (Allah ‘azza wa jalla) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus
Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya
dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata

Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:

Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku
kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami

Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.

Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena kezindiqannya –sehingga sebagian orang-orang ahli tasawuf menyatakan berlepas diri darinya -, tetap saja ada orang-orang ahli tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).

Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) – maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354)

Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal. 43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:

Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!

Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah.”

Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun ‘alaihi salam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa ‘alaihi salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.

Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham Wihdatul Wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam ‘alaihi salam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihi salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.

Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang.” Kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:

(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah!
dan kepada Allah kembalilah!

(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal. 19).

Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami.” Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram.” (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186).

Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: “Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?!” (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku.” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36).

Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: …Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafadz di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: Mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: Dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid. Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata bahwa membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia.” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).

Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla).” (Ibid 4/83).

Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali(?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124).

Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan diantara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: “Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!?” (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130).

Penutup

Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)

Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya.” (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث

“Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HSR Imam Al Bukhari 1/175 – Fathul Bari dan Muslim no. 2282)

Semoga tulisan ini Allah ‘azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.



Di Copas dari www.muslim.or.id







Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 3:46 AM   0 comments
Hakekat Tasawuf bag.2

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim

Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah(*)

(*) Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawwuf”, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal. 17-38) dengan sedikit perubahan.

Orang-orang ahli tasawuf –khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut:

Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?” Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja –sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf–, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain.

Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar).” Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [hal. 90], cet. Darul Ifta’, Riyadh).

Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.

Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka.”

Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus.”

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al An’aam: 91)

(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراً وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراً وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ

“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya? Katakanlah: Allah (yang menurunkannya).” (QS. Al An’aam: 91)

Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah hal. 117).

Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55)

Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.

Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:

Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali

Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!” Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahu tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! –pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.” (Majmu’ Al Fatawa 11/215).

Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.

Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR. Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, dimana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (**), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran.” Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “Orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”

(**) At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami(?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!?

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: “Apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini?” Beliau menjawab, “Tidak.” Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).

Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَا كَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al A’raaf: 51)

Keenam, juga termasuk doktrin ajaran tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tasawuf, karena asal mula ajaran tasawuf –sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.

Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama. Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla). Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam).” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya… Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim ‘alaihi salam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99)

Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “Sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…” (pada hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:

مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian).” (QS. Al Muddatstsir: 42-47)

Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)…yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian).” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).

Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf.

Si Copas dari www.muslim.or.id




Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 3:16 AM   0 comments
Hakikat Tasawuf bag.1

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim

Pendahuluan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد


“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu).

Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka.” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu)

Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya).

Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla.” Maka Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”

Definisi Tasawuf/Sufi

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal.13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan penghidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf fa’ yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan –dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol).” (Majmu’ul Fatawa 11/5-6).

Lahirnya Ajaran Tasawuf

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).

Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6).

Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.” (Talbis Iblis hal 161).

Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17): “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 13).

Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28: “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15).

Di CoPas dari www.muslim.or.id






Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 3:03 AM   0 comments
Tauhid; Hakekat Dan Kedudukannya
Tuesday, October 31, 2006
Firman Allah Ta'ala:
"Aku menciptakan jin dan manusia, tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariat: 56).
Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah Ta'ala dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan inilah hakekat agama Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.



Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Dan suatu amal diterima oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati ikhlas, semata-mata karena Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut." (An-Nahl: 36)

Thaghut yaitu setiap yang diagungkan -selain Allah- dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi, baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia, ataupun syetan. Menjauhi thaghut yaitu mengingkari, membencinya, tidak mau menyembah dan memujanya dalam bentuk dan dengan cara apapun.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya mencapai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka keduanya telah mendidikku waktu kecil." (Al-Isra': 23-24)

"Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya." (An-Nisaa': 36)

Syirik yaitu memperlakukan sesuatu -selain Allah- sama dengan Allah dalam hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya.

"Katakanlah (Muhammad): Marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikianlah yang diwasiatkan Allah kepadamu, supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia mencapai kedewasaannya, dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu, agar kamu ingat. Dan (kubacakan): Sungguh inilah jalan-Ku, berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al An'am: 151-153).

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Barang siapa yang ingin melihat wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tertera diatasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Ta'ala:...(surah Al-An'am 151-153, seperti tersebut di atas)."

Mu'adz bin Jabal, radhiyallahu 'anhu, menuturkan:
"Aku pernah diboncengkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: Hai Mu'adz, tahukah kamu apakah hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah? Aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliaupun bersabda: Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Aku bertanya: Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang? Beliau menjawab: Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri." (HR Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka)

Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

from www.assunnah.or.id


Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 1:59 AM   0 comments
TAUHID AL-ASMA' WASH-SHIFAT
Saturday, May 13, 2006
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: "Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma' wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta'thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta'thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya"



Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita¡'wil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza¡'iy, al-Laits bin Sa¡'ad dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:

"Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu)."[1]

Imam Asy-Syafi' Rahimahullah berkata:

"Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah¡¨[2]

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: "Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma' wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta'thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta'thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya"

Firman Allah Subhanahu wa Ta¡'ala:

"Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat¡¨ [Asy-Syuura':11]

Lafazh ayat : "Tidak ada yang serupa dengan-Nya" merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.

Sedangkan lafazh ayat : "Dan Dia Mahamen-dengar lagi Mahamelihat" adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah.

'Itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa Ta'ala didasari atas dua prinsip:

Pertama.
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.

Kedua.
Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.[7]

Ahlus Sunnah wal Jama¡'ah tidak menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menyelewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kedudukan yang semestinya, tidak mengingkari tentang Asma' (Nama-Nama) dan ayat-ayatNya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat diqiaskan dengan makhluk-Nya.

Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan selain Diri-Nya. Dialah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Mahasuci Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam.¡¨ [Ash-Shaffat: 180-182]

Allah Jalla Jalaluhu dalam ayat ini mensucikan diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul, karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]

Allah Subhanahu wa Ta¡¦ala dalam menuturkan Sifat dan Asma'Nya, memadukan antara an-Nafyu wal Itsbat (menolak dan menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama¡¦ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin[10]


Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-Uluw lil Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih.
[2]. Lihat Lum¡'atul I'tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
[3]. Tahrif atau ta'wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4]. Ta'thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta'thil ialah, bahwa ta'thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur'an atau hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5]. Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: "Bagaimana Sifat Allah itu?". Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: "Bagaimana Allah bersemayam?" Dan yang sepertinya, karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[6]. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah (I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah al-Wasithiyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihat al-Lathifah ala Mahtawat alaihil Aqidah al-Wasithiyah (hal 15-18) oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah an Ma'anil Wasithiyah oleh Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[7]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9]. Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam al-Qur'an secara garis besarnya menolak adanya kesamaan atau keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Dan nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah, misalnya disebutkan dalam al-Qur'an bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat QS. An-Nisaa¡' 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.




Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 11:20 PM   0 comments
TAUHID ULUHIYAH
Artinya, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah.

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1]

Al-Ilah artinya al-Ma’luh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesem-bahan yang haq melainkan Dia. Yang Mahapemurah lagi Maha-penyayang” [Al-Baqarah: 163]Berkata Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah (wafat th. 1376 H): “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Tidak boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya[2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Allah menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain-Nya, Yang Maha-perkasa lagi Mahabijaksana” [Ali ‘Imran: 18]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, Uzza dan Manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak diberi hak Uluhiyah:

“Artinya : Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya...”[An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : (Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf “alaihis Sallam yang berkata kepada kedua temannya di penjara:

“Artinya : Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…”[Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimus Salam berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja[3]

“Artinya : Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesem-bahan yang haq selain daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)” [ Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti.

Pertama.
Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya :Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengam-bil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” [Al-Fur-qaan: 3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit. Dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat..” [Saba’: 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” [Al-A’raaf: 191-192]Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.

Kedua:
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melin-dungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk me-laksanakan Tauhid Uluhiyah (beribadah hanya kepada Allah saja).

“Artinya : Hai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”[Al-Baqarah: 21-22]


Foote Note
[1]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[2]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[3]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63, cet. Mak-tabah al-Ma’arif , 1420 H).

Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 9:41 PM   0 comments
TAUHID RUBUBIYAH
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Subhanahu wa Ta’ala baik mencipta, memberi rizki menghidupkan dan mematikan serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa dan Yang mengatur segala sesuatu.


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Artinya : Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]
Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : ...Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaanNya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”[ Faathir: 13]
Orang musyrikin juga mengakui tentang sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Artinya : Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.’ Maka, mereka men-jawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?’ Maka, (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka, bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus: 31-32]Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Artinya : Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi,’ niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha-mengetahui"[Az-Zukhruuf: 9][1]
Kaum musyrikin mengakui bahwasanya hanya Allah semata Pencipta segala sesuatu, Pemberi rezeki, Yang memiliki langit dan bumi, dan Yang mengatur alam semesta, namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai penolong, yang mereka bertawasul dengannya (berhala tersebut) dan menjadikan mereka pemberi syafa’at, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa ayat. [2]

Dengan perbuatan tersebut, mereka tetap dalam keadaan musyrik, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Artinya : Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain ).” [Yusuf: 106]Sebagian ulama Salaf berkata: “Jika kalian tanya pada mereka : ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi ?’ Mereka pasti menjawab: ‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-Nya.” [3]

Foote Note
[1]. Lihat juga QS. Al-Mu’minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.
[2]. Lihat QS. Yunus: 18, az-Zumar: 3, 43-44.
[3]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.

Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M

Baca Selanjutnya...
Sebuah Coretan Shady Sant @ 9:37 PM   0 comments
Sang Pena

Nama: Shady Sant
Tinggal di: Indonesia
Pengin menjadi: Contak Person : YM - shady.huda@yahoo.com Email : Shady.huda@yahoo.com
Coretan Pena
Arsip
Links
Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

© 2006 AQEEDAH .Template by Isnaini Dot Com